![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEilSYm2eKmkU4uwxR3fcvBoNfsbeJyjqACzE8UDUPkhQVWI4Rg1YC1U_dqG3rXMA7wspagf08b5ERi6f4m0KbJbbHWJQLeiyWkpNwlr3hqgnCSevpw-PJSbp8_Rgo-5CQrphhpTVLeWEMgl/s1600/Harry-Potter-Harry2.jpg)
Saat itu akhir 2006, Rowling dikejar tenggat menyelesaikan novelnya. Ia memilih menulis di hotel Balmoral di kota Edinburgh—menyepi dari keriuhan rumahnya. “Saya menangis dan air mata saya tak mau berhenti. Saya buka minibar hotel dan minum sampanye dalam botol kecil,” ceritanya suatu kali pada majalah Time.
Rowling menyebut Harry Potter sebagai “one of the longest relationship of my adult life.” Ia mulai menulis tahun 1990 (buku pertama terbit 7 tahun kemudian) dan berakhir tahun 2007 saat buku ketujuh rilis.
Seperti Rowling, banyak dari kita punya hubungan panjang dengan Harry Potter. Buku pertama edisi Indonesia (Harry Potter dan Batu Bertuah) terbit September 2000 dan buku terakhir (Harry Potter dan Relikui Kematian) terbit pertama Januari 2008. Film pertama Harry Potter, Harry Potter and the Sorcerer’s Stone rilis 2001. Sepuluh tahun kemudian, rilis film terakhirnya Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2.
Sepuluh tahun bukan masa yang pendek. Harry Potter telah bersama saya sejak masih sekolah sampai saya tinggal menempuh 1 tahun masa sekolah lagi untuk menduduki bangku perkuliahan. Buku-bukunya berjejer rapi (meski sudah lecek) di rak buku saya, meskipun untuk seri yang sangat awal masih menjadi hak milik saya bersama saudara-saudara tertua saya..
Semula, saat membaca buku pertama, saya mengira kalau Harry Potter tak lebih dari buku anak-anak dari pengarang Inggris yang mengisahkan kehidupan murid sekolah asrama (persis cerita-cerita Enid Blyton) hanya ditambah unsur dunia sihir. Buku kedua dan ketiga saya pinjam dari seorang teman kuliah kakak saya. Dari situ saya mulai merasa, “Hei, ini bukan sekedar buku anak-anak soal murid asrama. Kita melihat tokohnya tumbuh dewasa, menemukan cobaan hidup, dan berjuang menaklukkannya.” Buku ini punya kualitas sebuah novel epik yang akan abadi sepanjang masa.
Begitu juga filmnya. Terus terang, tak semua film Harry Potter saya tonton di bioskop. Alasan utama, saya kadang sinis duluan, menganggap film-filmnya tak lebih dari siasat Hollywood untuk mengeruk uang dengan cara membuat versi film dari sebuah buku sukses. Film pertama Harry Potter buat saya (saya menontonnya pertama di VCD) sekedar menghidupkan versi buku dengan bergenit-genit menampilkan dunia sihir yang megah.
Perubahan mulai terasa di film ketiga (Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, 2004), saat kisah Harry Potter semakin gelap dan kursi sutradara diganti Alfonso Quaron. Filmnya tak lagi pas disebut film anak karena ada banyak aksi serta kisah pengkhianatan yang rumit. Kita juga diberi tahu hubungan masa lalu orangtua Harry Potter dan kawan-kawannya di Hogwarts dulu dengan kejadian di masa kini saat Harry remaja. Film keempat ada cinta monyet Harry Potter juga kematian seorang tokohnya (Cedric Digory). Film kelima ada pertempuran dan kematian orang yang Harry sayang (bapak angkatnya, Sirius Black). Di film keenam semakin banyak intrik, tugas yang rumit (mulai mencari horcrux), serta kematian tokoh yang begitu dikenal Harry dari awal (Profesor Dumbledore). Film ketujuh menyajikan pengelanaan (mencari horcux) sekaligus ujian bagi keteguhan sikap dan persahabatan (dalam perjalanan Harry, Ron, dan Hermione diuji untuk tetap fokus pada niatan semula).
Syahdan, sampailah kini kita pada film kedelapan, Harry Potterand the Deathly Hallows Part 2. Ini film terakhir Harry Potter dari buku Rowling. Tidak ada kisah Harry Potter lagi setelah film kedelapan—kecuali Rowling meneruskan ceritanya dan filmnya kemudian dibuat.
Mungkin pula, bertahun-tahun nanti, kita bakal disuguhi remake dari Harry Potter dengan efek khusus lebih dahsyat, penafsiran sinema yang baru, dan tentu, bintang-bintang baru. Namun, film-film remake itu jelas bagi generasi baru, bukan bagi kita saat ini.
Bagi kita, pertemuan terakhir dengan Harry Potter berakhir di film kedelapan ini.
***
Lantas, apa seperti Rowling usai menulis novelnya, haruskah kita tangisi perpisahan dengan Harry Potter di boskop?
Izinkan saya membincangkan bab terakhir kisah Harry Potter, epilog “19 tahun kemudian”. Disebut Mark Harris di majalah Entertainment Weekly (3 Agustus 2007), apa yang dilakukan Rowling di beberapa halaman bab terakhir itu sebagai penghormatan bagi sebuah penutup yang dipakai dalam setiap cerita dongeng, yakni: “...dan mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.” Rowling, dengan elegan, tak menutup kisahnya dengan kematian tokoh utamanya (walau semula banyak yang mengira Harry bakal mati bersama Voldemort).
Dia lebih memilih Harry, Ron, Hermione dengan keadaan mereka 19 tahun kemudian yang baik-baik saja.
Saya merasa, meski menangisi perpisahannya dengan Harry Potter, Rowling tak ingin pembaca (atau penonton filmnya) juga menangis saat berpisah dengan Harry. Rowling ingin kita tersenyum puas saat menutup buku karena tahu semuanya baik-baik saja di dunia sihir,maupun pulang dari bioskop dengan perasaan lega.
Sebagian besar dari kita menangis sedih saat film Harry Potter 7 Part 1 usai karena, sekali lagi, tokoh yang kita cintai (Dobby, si peri rumah baik hati) tewas. Namun, bagian sedih di Part 2bukan terjadi di akhir, melainkan saat kita tahu Snape ternyata selama ini begitu setia melindungi Harry dan memendam cinta pada ibunda Harry. Saat Snape (Alan Rickman) mengucap, “Kau punya mata persis ibumu” semua gambaran kita akan Snape yang menyebalkan dan jahat selama bertahun-tahun runtuh. Ketika Snape memohon pada Harry agar mengambil air matanya yang menetes, tak terasa air mata kita juga ingin menetes (hehe... saya baru sampai “ingin” lho, mungkin Anda ada yang sampai “menetes”).
Seperti bukunya, Harry Potter 7 Part 2 ditutup dengan epilog “19 tahun kemudian”. Saya mendapati begitu melihat Harry dan yang lain muncul dengan penampilan mereka saat sudah tua, bioskop serempak diisi tawa sebentar (terutama saat melihat Ron yang tambun).
Jujur, semula saya hendak bersikap tak setuju melihat sosok Daniel Radcliffe, Emma Watson, maupun Rupert Grint, serta Bonnie Wright (sebagai Ginny Weasley) tetap tampil di adegan terakhir itu. Mereka hanya didandani lebih tua sedikit, sedang anak mereka sudah besar-besar. Saya hendak menganggapnya mirip sinetron-sinetron kita yang masih muda tapi sudah punya anak atau masih muda tapi sudah jadi pemimpin perusahaan.
Tapi, saya lalu merenungkannya lagi. Mungkin ada alasannya kenapa sineasnya (film ini dibesut David Yates) tetap memakai Daniel, Rupert, Emma dan yang lain.
Mereka tak pakai orang lain yang lebih tua 19 tahun dari Harry dkk di saat remaja karena tak ingin momen terakhir kita bersama Harry dan yang lain diisi oleh sosok-sosok yang tak kita kenal. Selama 10 tahun kita bersama Daniel, Rupert, dan Emma melihat mereka tumbuh dari bocah 11 tahun hingga beranjak dewasa. Tak elok bila di saat terakhir film, bukan mereka yang terpatri di otak kita begitu kita meninggalkan kursi bioskop.
***
Pada akhirnya, perpisahan dengan Harry Potter di bioskop adalah sebuah perpisahan yang semu. Kita takkan betul-betul berpisah dengan Harry dkk. Setelah bioskop berakhir, DVD-nya bakal rilis. Kemudian setahun lagi HBO bakal menayangkan di TV untuk pertama kalinya. Beberapa tahun lagi stasiun nasional TV kita menayangkannya.
Buku Harry Potter saya sesekali saya baca ulang jika sudah mulai rindu pada bacaan renyah yang bakal membawa ke alam sihir yang menakjubkan. Saya baca bagian-bagian favorit di bukunya berulang-ulang hingga kini.
Kalau kangen dengan Daniel, Rupert, atau Emma, kita bisa menonton ulang film-filmnya.
Ya, kita takkan sungguh-sungguh berpisah dengan Harry. Kita malah bakal makin sering bertemu dengannya.***
0 komentar:
Posting Komentar